Selasa, 28 Februari 2012

Contoh Cerita Remaja "Pelangi Cinta"

“Via, suatu saat nanti aku akan kembali dan membawakanmu pelangi yang indah, agar pelangi itu bisa jadi lampu di hatimu. Maukah kau menunggu pelangi itu?”
Aku terbangun dari mimpi, mimpi yang mengingatkan aku pada cinta pertamaku. Segera saja aku memperbaiki posisiku agar lebih nyaman. Lalu kukucek mataku yang masih sangat kelelahan ini, kupaksa lagi mataku agar bangun.
“Oh mimpi itu datang lagi. Apakah mungkin dia menepati janjinya itu? Tetapi, kemana dia? Mengapa tak kunjung tiba saat itu?” gumamku.
Kupandangi jam beker berbentuk hati di sebelah tempat tidurku, itulah hadiah yang ku dapat dari cinta pertamaku. Dialah orang yang telah mencuri hatiku, tapi sudah lama dia pergi ke luar negeri dengan membawa serta hatiku ini. Entah sudah berapa lama dia pergi, namun aku tetap saja suka kepadanya. Mungkin sudah 8 tahun yang lalu dia pindah ke luar negeri, tetapi hatinya yang tertinggal dalam jam bekerku tetap disini dan tidak akan pergi seperti pemiliknya.
Setelah malas memikirkan semua itu, aku bangkit berdiri dan segera merapikan tempat tidurku, kutinggalkan mimpiku dan lamunanku tentang masa lalu kemudian aku mandi. Sehabis mandi aku turun dan sarapan. Bagai pembalap motor aku melahap sepotong roti dengan selai coklat kesukaanku, kuminum segelas susu yang rasanya juga coklat dan segera  menuju mobil yang akan mengantarkan aku ke sekolah.
“Ayo Non, cepat nanti telat loh!” kata Pak Len, sopirku yang setia.
Tanpa berbasa – basi aku segera naik ke mobil dan berangkat sekolah. Sampai di sekolah aku pun segera menuju ke kelasku yang berada di lantai atas.
      “Selamat pagi semua,” sapaku.
      “Pagi Via,” sambut mereka dengan ramah.
      “Via, dah tahu belum nanti ada anak baru? Katanya sih dari Amerika,” kata Dina.
      “Iya, iya, kalo nggak salah namanya  itu Rendy,” tambah Linsy.
      “Apalagi banyak yang bilang kalo dia tuh usil,” kata Putri dengan merinding.
      Aku hanya menganggukkan kepala mendengar teman – temanku berceloteh. Tapi, pikiranku kembali beterbangan menuju masa lalu yang mengingatkan aku pada mimpiku tadi malam. Tanpa sadar bel masuk telah berbunyi dan dengan sadis bel itu telah menghancurkan, merusak, dan  membuyarkan seluruh lamunan dan mimpiku.
      Bu Ratih memasuki kelas dan diikuti oleh seorang anak lelaki yang berpakaian rapi. Setelah Bu Ratih masuk bersama anak itu, semua anak saling berbisikkan dan mulai membicarakannya. Sementara aku sibuk dengan pikiran yang kembali berjalan – jalan mengelilingi taman di otakku. Aku merasa telah mengenalnya, tetapi aku tak terlalu yakin kalau dia orang yang kutunggu selama ini
“Hai semua, saya Rendy, murid pindahan dari SMP di Amerika Serikat. Sebenarnya saya penduduk sini, tapi pindah ke Amerika karena ayah membuka bisnis di sana. Sepertinya perkenalan saya cukup dan terima kasih,” jelasnya seraya menatap ke arah Bu Ratih.
      Bu Ratih pun segera menyuruh Rendy untuk duduk, dan karena kursi yang kosong hanya ada di sebelahku, Bu Ratih menyuruh Rendy duduk disebelahku. Aku tak tahu kenapa, tetapi tiba – tiba saja jantungku berdegup kencang dan wajahku mulai memerah layaknya kepiting rebus yang sudah matang. Segera kucoba untuk menormalkan kembali detak jantungku yang semakin keras dan tak keruan. Sampai bel istirahat berbunyi aku tetap tak berhasil menenangkan detak jantungku.
      “Hai, namaku Via!” seruku.
      “Oh, hai…….!” jawabnya sambil bersikap jahil.
       “Hmm, boleh minta alamat sama nomer HP – nya nggak?” tanyanya padaku.
      “Nggak boleh!” jawabku dengan sinis.
“Ah, pelit! Biasanya banyak banget yang nggak nolak kalau aku minta nomer HP – nya,” jelasnya.
“Emang gue pikirin!” kataku sambil berlalu meninggalkan Rendy yang masih terlihat usil.
      Aku tak menyangka kalau dia anak menyebalkan kupikir dia anak yang pendiam, karena sewaktu memperkenalkan diri di depan kelas dia terlihat pendiam, tapi ternyata benar apa yang dikatakan teman – temanku bahwa dia sangat jahil. Hingga pulang sekolah rasa sebalku padanya tak bisa kuhapus, tapi aku heran kenapa aku merasa sangat dekat dengannya.
      Sampai di rumah aku langsung ganti baju, dan segera turun untuk makan siang. Selesai makan kubuka catatan pelajaran hari ini dan membacanya. Setelah itu, kubuka buku diary – ku yang menyimpan berjuta rahasia tentang aku termasuk mimpi dan cinta pertamaku, janji yang pernah diucapkan olehnya, semua kusimpan dalam buku itu. Tak tahu kenapa, saat membaca buku diary – ku, aku jadi teringat pada Rendy lagi.
      Satu bulan berlalu setelah kedatangan Rendy dan berjuta keusilan yang telah dibawanya membuat aku semakin sebal, tapi aku tak mau ambil pusing semua yang dilakukannya untuk mengerjaiku hanya jadi sia – sia. Aku pun lebih fokus pada nilai raport yang akan kuterima. Perasaan takut pun semakin menambah buruk keadaanku. Teman – temanku pun terlihat begitu ketakutan, hanya satu orang yang kulihat masih bisa tertawa gembira. Dia adalah Rendy anak baru yang suka jahil pada anak lain, sok keren, sok gaul, sok ganteng juga sok kaya. Aku heran mengapa dia terlihat begitu tenang.
      Pagi tampak begitu sunyi, matahari pun sepertinya malas untuk menyapaku. Rasanya aku malas sekali untuk bangun pagi ini, apalagi jika harus ditambah dengan nilai raport yang buruk. Aku sangat takut, bahkan mungkin ada kabut hitam yang semakin mengelilingiku. Tanpa sadar air mata mulai menghiasi wajahku ini, karena takut ada yang curiga aku menghapusnya dan mencoba untuk menenangkan diriku ini. Tanpa harus beranjak dari tempat tidur kupandangi jam itu, terlihat bayang diriku yang tampak begitu lemah dan sangat menyedihkan.
      “Via, ayo bangun sayang! Tumben jam segini belum keluar kamar?”
      Kudengar sebuah suara yang merdu dan menyejukkan hati telah memanggil namaku. Ku coba bangkit berdiri dan berjalan menuju arah datangnya suara itu. Kubuka pintu kamarku, dan aku lihat mama telah berdandan sangat rapi.
      “Mama, kok tumben. Lagi libur ya kerjanya?” tanyaku penuh rayuan.
“Iya, mama emang libur. Kan kamu waktunya ambil raport, jadi mama mau ngambil raport kamu nanti kita bak`l ada acara camping jadi kamu siap – siap ya,” ujar mama. Mamaku memang sangat baik dan pengertian. Aku jadi tambah sayang pada mama.
      Tanpa basa – basi lagi, aku segera mandi dan berganti pakaian. Kurapikan tempat tidurku, dan segera menuju ruang makan. Ternyata papa juga sudah menungguku, kami pun segera sarapan bersama.
      Setelah sarapan mama segera naik ke mobil dan berangkat ke sekolah untuk mengambil raportku. Mama telah berlalu pergi, aku kembali melanjutkan aktivitasku membersihkan rumah. Mungkin seharusnya di rumahku yang sebesar itu memilhki seorang pembantu. Sayang sekali, mamaku lebih suka melakukan sendiri. Maka begitulah, aku pun harus menyelesaikan semua sendiri tanpa bantuan siapapun.
      Kuselesaikan semua dengan cepat, setelah selesai aku duduk dan menunggu kedatangan mama dari sekolah sambil kembali berjalan – jalan ke masa laluku. Kulihat jam dinding yang menghiasi ruang tamu. Lalu, kupandangi jalan beraspal di depan rumahku bagai prajurit yang tengah mengawasi musuh. Kulihat jarum jam dinding menari – nari gembira, tanpa tahu apa yang kurasa. Aku semakin gelisah, karena sudah hampir jam 11 tapi mama tidak juga terlihat.
      “Aduh, mama kenapa lama ya?” tanyaku dalam hati.
“Oh, ayolah tenang. Mungkin jalanan lagi macet, jadi harus sabar. Ayo, Via tenang ya!” bisik kalbuku seraya menenangkan pikiran yang kalut ini.
      Tak lama kemudian, kulihat mobil mama sudah berhenti tepat di depan rumah. Tapi, aku begitu kaget melihat siapa yang diajak oleh mama. Dia itu yang menyebalkan, usil, sok pintar, sok keren, dan serba sok. Mungkin aku harus segera mengusirnya dari rumah, atau menendangnya keluar pagar, dan yang paling kuinginkan adalah mencakar – cakar wajahnya yang menyebalkan itu.
      “Via, mama sudah pulang nih,” kata mama.
      “Iya ma, bentar Via turun nih!” kataku dengan sebal.
      Rasanya sangat menyebalkan sekali, melihat Rendy pulang bersama mama. Dan sepertinya mama juga akrab dengan Rendy.
      Rendy tampak sangat terkejut ketika melihat aku yang membukakan pintu. Tapi dengan segera  mama menyeretnya masuk ke rumah. Aku segera menutup kembali pintu itu setelah mama dan Rendy masuk ke rumah. Perasaanku kembali tak keruan dan sepertinya wajahku lagi – lagi seperti kepiting rebus yang sudah matang, aku sendiri tak mengerti kenapa bisa seperti ini ketika dekat dengan Rendy. Kami pun berbincang – bincang di ruang tamu.
      “Oh, jadi Tante Syita tuh mama kamu ya?” tanyanya padaku, ketika di ruang tamu.
      “Ya, terus kenapa?” tanyaku dengan sinis.
      “Ye, marah nih ye? Awas udah jelek nanti tambah jelek loh kalo marah,” katanya lagi.
      “Bodoh amat!” makiku padanya.
      Setelah Rendy pulang, aku segera ke ruang tengah untuk mendengarkan mama mengomentari raportku. Rasanya jantungku telah terlepas dari tubuhku dan berlari sejauh – jauhnya ketika mendengar kata mama kalau aku mendapat ranking dua, dan orang yang sudah mengalahkanku adalah Rendy.
      “Wow, ternyata Rendy pintar ya!” puji mama.
      “Iya, papa aja kaget pas tahu kalau dia yang ngalahin Via,” tambah papa.
      “Ih, papa sama mama kok malah muji – muji anak nyebelin itu sih?” protesku.
“Iya iya, tapi anak papa tetap yang terbaik kok,” kata papa menghibur.
      “Iya dong, pa! Kan anak mama,” jawab mama sambil menghadap ke arahku.
      “Ya udah, besok kita kan camping, jadi lebih baik kita istirahat dulu!” tambah mama.
      Matahari tampak sangat bersemangat untuk bangun dan ikut camping bersamaku, aku tak mau kalah dengan matahari langsung bangun dan bersiap untuk camping bersama keluarga. Kupandangi lagi jam hatiku dengan gembira. Kutata dan kurapikan tempat tidurku yang berantakan hingga menjadi tempat tidur tuan putri kembali, kemudian aku bergegas mandi dan ganti baju. Kuperiksa kembali barang – barang yang telah kutata semalaman. Seluruh persiapan sudah selesai, kami pun segera berangkat menuju tempat camping.
      Waktu berganti waktu, tak terasa kami tdlah sampai di tempat. Sesampainya di tempat aku tak berhenti untuk mengaguminya, decak kagum tak dapat melepaskan diri dari lidahku ini. Dengan dihiasi bunga – bunga yang sedang bermekaran, semua terasa begitu indah dan menyenangkan. Hanya ada satu kekurangan disini yaitu ada Rendy. Tak ingin lebih lama melihat wajah Rendy, aku segera membantu papa dan mama untuk mendirikan tenda. Tak lama kemudian, tenda telah berdiri dan siap untuk bertugas sebagai rumah sementara.
      Hari ini adalah hari kedua, kami akan melakukan penjelajahan. Kami dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari dua orang di masing – masing kelompok, dan sialnya aku harus satu kelompok dengan Rendy.
      “Uuh, mengapa harus dia lagi?” rengekku.
      “Aku juga nggak mau tuh satu kelompok sama cewek galak kayak kamu,” balasnya.
      “Kalau boleh milih aku mending nggak usah ikut, sayangnya harus ikut,” kataku.
Kami terus – menerus berdebat, hingga tak menyadari bahwa kami telah terpisah dari rombongan. Setelah sadar kami sama – sama kebingungan untuk mencari jalan keluar, karena tak satu pun dari kami yang membawa kompas. Matahari semakin pergi menjauh, seakan tak mau menemani aku yang ketakutan.
      Kami terus berjalan dan mencoba untuk menemukan jalan keluar. Tapi aku tak dapat berpikir dengan jernih, karena otakku hanya mau digunakan untuk memikirkan Rendy. Hari semakin tenggelam dan hanya tersisa secercah cahaya yang tidak begitu terang.
“Kamu takut ya?” tanya Rendy dengan gayanya yang sok manis.
“Biasa aja tuh,” jawabku.
      Kami pun sadar, bahwa kami sama – sama salah. Lelah kaki ini untuk melangkah lebih lama lagi, dan kami memutuskan untuk beristirahat. Kami cari tempat yang baik untuk beristirahat sejenak sambil menunggu bantuan yang datang.
      Kami terus berbincang – bincang agar tidak ketiduran. Selama itu pula aku menjadi seorang detektif cilik yang memiliki tugas mengungkap siapa Rendy sebenarnya. Mungkin seharusnya aku sudah tahu siapa dia, karena dia pernah tinggal di rumahku. Namun, aku tak yakin karena dia begitu berubah. Ketika aku berbincang*dengannya, aku lebih merasa nyaman, apalagi dia terlihat begitu dewasa dan dengan mudah bisa mengerti aku.
      Kami terus berbincang hingga tak menyadari bahwa hari yang baru telah tiba. Terdengar suara – suara kicauan burung yang tengah bersenda gurau, angin ikut menari – nari, dan matahari mulai bangun dari tempat tidurnya. Tiba – tiba aku mendengar suara orang – orang yang sangat ramai memanggil namaku dan nama Rendy. Kami berlari menghampiri arah datangnya suara itu.
      Kami pun dapat kembali ke rumah masing – masing dengan selamat. Dan dari situ aku tahu dialah Rendy cinta pertamaku. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Hingga suatu hari Rendy mengajakku ke taman bunga yang berwarna – warni bagai pelangi indah di langit.
      “Vi, aku dulu pernah janji kan ke kamu?” tanyanya.
      “Janji apa?” aku balik bertanya padanya untuk memancingnya, karena aku tahu apa yang dia maksud.
“Suatu saat aku akan balik dan ngebawain pelangi yang indah untuk aku jadiin penerang hati kamu,” jelasnya.
      “Kok kamu bisa tahu kata – kata itu?” tanyaku, sambil berpura – pura tak mengerti.
      “Karena, aku Rendy-mu. Yang pernah janji ngebawain pelangi buat kamu!” tukasnya.
      “Nah terus mau kamu?” tanyaku sekali lagi.
      Aku pun semakin penasaran seperti apakah pelangi yang dikatakannya itu. Namun, aku tak tahu bagaimana jadinya. Tiba – tiba kurasakan jantungku mulai berdetak keras dan tak keruan lagi. Suhu tubuhku mungkin juga telah mendidih, mungkin wajahku lagi – lafi mirip kepiting rebus yang telah matang. Dan saat ini tak ada yang bisa kupikirkan kecuali Rendy.
“Karena, sekarang aku dah nemuin pelangi itu. Aku juga dah kembali, jadi kamu mau nggak jadi pemilik hatiku yang beneran? Jadi, bukan Cuma dari jam beker aja,” tanyanya.
      “Hmm, boleh sih. Tapi, aku minta bukti pelanginya mana?” godaku.
      Tiba – tiba, dia menutup mataku memakaikanku sebuah kalung. Setelah kubuka kembali mataku, kulihat sebuah kalung dan nama yang berwarna – warni bagai pelangi. Terlihat namaku terpampang jelas menjadi liontinnya “Oktavian”, sungguh indah apalagi saat terkena sinar matahari yang seakan ikut bahagia melihat kebahagiaanku ini juga dalam gelapnya malam, yang takkan pernah kutakuti lagi.
“Karena kamu udah ngasih aku pelangi yang indah ini, maka aku nggak akan pernah mau,” candaku.
      “Jadi nolak nih?” tanyanya sambil memoncongkan mulut.
“Kan aku belum selesai ngomong, aku tuh nggak akan pernah mau nolak, apalagi kalo jadi pasangan kamu selamanya,” jawabku sambil tertawa senang.
      Kulihat dia pun tertawa lepas dan riang, mendengar jawabanku. Dia memelukku dan menerbangkanku. Rasanya hatiku pun telah ikut terbang tinggi menari bersama awan dan pelangi yang indah dan berwarna – warni.
      “Yey, the love rainbow in my dream becomes true…….” teriakku dengan keras dan bersemangat.

0 Komentar: